Maluku Utara: Masa depan Indonesia

Analisis Eksternal
Pendidikan pada saat ini memiliki peran yang sangat penting dalam menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tercantum pengertian pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta pendidikan secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Dunia telah memasuki era globalisasi yang syarat akan persaingan. Agar mampu berperan dalam persaingan global, maka pendidikan Maluku Utara harus terus mengembangkan dan meningkatkan mutu sumber daya manusia yang dimiliki. Peningkatan mutu sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan. Salah satu upaya peningkatan mutu sumber daya manusia Maluku Utara dapat dilakukan dengan meningkatkan mutu pendidikan, karena pendidikan adalah human invesment yang merupakan salah satu indikator penentu kualitas sumber daya manusia yang ada di sebuah Negara.
Data Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Maluku Utara makin menurun. Di antara 33 propinsi yang ada di Indonesia menempati urutan ke 27. Data lain menunjukkan hal yang sama, menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Maluku Utara berada pada urutan ke-29 dari 33 propinsi. Posisi Maluku Utara berada di bawah Ambon, Irian dan lain-lain.
Data tersebut menunjukkan buruknya tingkat pendidikan di Maluku Utara serta diperlukannya peningkatan mutu sumber daya manusia. Hal tersebut menyebabkan pemerintah bersama dengan berbagai kalangan telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih bermutu antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pemberian pendidikan dan pelatihan bagi guru. Tetapi upaya pemerintah tersebut belum memberikan dampak yang signifikan dalam meningkatkan mutu pendidikan Maluku Utara. Adapun permasalahan khusus dalam pendidikan di Maluku Utara yaitu rendahnya sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, mahalnya biaya pendidikan. Solusi yang tepat sangat dibutuhkan untuk memecahkan berbagai masalah pendidikan tersebut, agar mutu pendidikan Maluku Utara meningkat dan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas sebagai pondasi Pembangunan Maluku Utara.

Analisis Internal
Maluku Utara memiliki wilayah yang sangat luas dan terdiri dari pulau-pulau sehingga mengakibatkan adanya perbedaan budaya, adat hingga kualitas pendidikan masing-masing daerah di Maluku Utara. Pendidikan yang seharusnya menjadi hak wajib bagi setiap warga negara Indonesia yang ada di Maluku Utara hingga kini masih belum bisa dirasakan secara merata bagi warga Maluku Utara. Kondisi ini dapat dilihat pada tingkat kualitas pendidikan di Maluku Utara. Ketidak merataan ini akan menjadi masalah kompleks yang perlu didukung dengan berbagai institusi pendidikan baik pada level rendah maupun tinggi. Kondisi pendidikan yang masih kurang baik sangat terasa pada beberapa wilayah di daerah tertinggal. Masyarakat di daerah tersebut masih terbengkalai dalam urusan Pendidikan wajib yang diprogramkan oleh pemerintah Maluku Utara sendiri. Dalam masalah ini mutu pendidikan akan mengakibatkan turunnya kualitas SDM masyarakat Maluku Utara.
Kualitas pendidikan di sangat memprihatinkan, mutu pendidikan yang rendah, kualitas pendidikan yang Maluku Utara jauh dari kata memuaskan, hal ini ditambah lagi dengan minimnya sarana dan prasarana pendidikan yang layak bagi setiap warganya. Bahkan di daerah tertentu terlihat jelas masih banyak warga Maluku Utara yang belum mendapatkan pendidikan sesuai dengan nilai-nilai pancasila dan tujuan negara yang tercantum di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sistem pendidikan di Indonesia selalu masih disesuaikan dengan kondisi politik dan sistem birokrasi yang ada, padahal hal itu bukanlah masalah utama, yang terpenting adalah bagaimana bukti terealisasinya di kehidupan pendidikan yang nyata termasuk kurangnya pemerataan pendidikan dan mutu pendidikan di daerah-daerah trertinggal yang masih jauh dari kata standar nasional yang telah diberlakukan di daerah-daerah kawasan pendidikan yang sudah sangat maju, di bandingkan daerah Maluku Utara ini.
Kondisi pendidikan di Maluku Utara juga dituliskan oleh oleh LSI bahwa indeks pengembangan manusia di Maluku Utara masih sangat jauh dibandingkan dengan propinsi-propinsi yang ada di Indonesia terutama karena kebijakan pemerintah terkait pemerataan pendidikan, adanya politisasi pendidikan, minimnya ketersediaan guru dan sarana/ prasarana pendidikan, akses pendidikan yang rendah bagi sebagian warga masyarakat.
Peningkatan kesadaran akan pendidikan yang berkualitas di Maluku Utara menjadi pendorong tersendiri bagi masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang baik. Tampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Maluku Utara adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Adanya institusi pendidikan yang menyiapkan guru-guru bagi sekolah berkualitas menjadi suatu kebutuhan penting di Maluku Utara.

Kata Dr. Abdurrahman Marasabesy (tokoh pendidikan Maluku Utara) dalam tanggapanya tentang kualitas pendidikan beliua mengatakan bahwa “ kualitas pendidikan di Maluku Utara harus lebih diperhatikan lagi dengan adanya pemerintah yang kurang melihat permasalah pendidikan yang begitu merumitnya dan ditambahkan dengan politisasi pemerintah dalam mengatur pendidikan, jadi boleh dikatakan pendidikan di Maluku Utara masih berjalan tanpa arah dan harus secapatnya di benahi”.selain itu juga Dr. Abdurahman Marasabessy mengatakan sebenarya ‘kualitas pendidikan di Maluku Utara bisa bersaing dengan daera-daerah lain yang seperti Ambon, Manado, Gorontalo dan daerah lainya karena hanya saja penyedian pendidikan belum terlaksana dengan baik’.
Banyak permasalah yang harus diselesaikan jika ingin kualitas pendidikan Maluku Utara ini akan lebih baik lagi, mengingat wilayah Maluku Utara adalah kepulauan yang begitu luas dan ditambahkan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten/kota yang kurang subtansional dengan pendidikan sebagaimana di amanatkan oleh undang-undang. Misalkan pendidikan yang terjadi di wilayah Halmahera Selatan yang memberikan pendidikan gratis dari SD, SMP dan SMA sederajat, hal ini memang merupakan amanat Undang-Undang Dasar dengan tujuan untuk memberikan pendidikan yang layak kepada seluruh warga Indonesia (khusunya masyarakat Halmahera Selatan) sehingga mengahasilkan SDM (sumber daya manusia) yang handal.
Kebijakan pemerintah Halmahera Selatan ini memang harus diberikan apresiasi dengan keberanian mereka menggratiskan pendidikan dasar hingga menengah bahkan Halmahera Selatan juga merupakan salah satu kabupaten yang ada di Maluku Utara pertama kali melaksanakan pendidikan gratis, akan tetapi apakah pendidikan yang berlangsung di Halmahera Selatan (Halsel) sudah memberikan kualitas yang nyata sebagaimana yang diinginkan oleh masyarakat ataukah hanya bisikan politik kepalah daerah untuk kepentingan pribadi dan golongan. Ternyata pendidikan gratis di Halmahera Selatan bukan merupakan solusi atau jaminan adanya suatu kualitas pendidikan hal ini dibuktikan dengan adanya tingkat Indeks Pembangunan Manusian yang ada di Halmahera Selatan masih rendah dibandingkan dengan kabupaten/kota yang lain yang ada di Maluku Utara (Balitbang). Selain itu juga kualitas lulusan di Halmahera selatan menurun dari tahun ke tahun dengan adanya pendidikan gratis, pada tahun (2009) presentase kelulusan 98%, (2010) 97%, (2011) 96.5 %, (Dinas Pendidikan Halsel dan Dikti). Artinya ketersediaan guru yang berkualitas dan mencukupi masih sangat penting di Maluku Utara. Hal yang hampir sama juga terjadi di kabupaten Halmahera Barat, pemerintah menjalankan pendidikan gratis untuk warganya dengan tujuan agar mencapai pendidikan yang lebih sesuai dengan amanat undang-undang, akan tetapi hasilnya masih jauh dari harapan, mulai dari permasalahan guru, sarana fisik, dan kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan system pendidikan. Dan masih banyak lagi permasalah pendidikan yang terjadi di kabupaten yang lainnya, Kabupaten Sula, Kabupaten Haltim, kabupaten Halut, kabupaten Halteng, Kabupaten Morotai serta Kota Ternate dan Kota Tidore.
Untuk kota Ternate dan kota Tidore pelaksanaan pendidikannya agak lebih baik dibandingkan dengan kabupaten yang lain yang ada di Maluku Utara hal ini terlihat dari sarana pendukungnya mulai dari guru, laboratorium, perpustaka dan, internet dan di tambahkan lagi dengan prestasi guru dan siswanya yang menorehkan berbagai prestasi di tingkat local, nasional bahkan internasional. Hal ini bisa terjadi karena kota Ternate dan Tidore dari segi pelaksanaan pendidikannya hampir menuju Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang di tetapkan dalam undang-undang sebagai barometer untuk pelaksanaan suatu pendidikan. Walaupun demikian masih terdapat masalah, misalnya pada ujian akhir nasional masih memiliki presentase kelulusan yang kurang di bandingkan dengan kabupaten yang lain.
Tentang kualitas pendidikan di Maluku Utara, Pemerintah Propinsi (Dikjar Propinsi) mengatakan bahwa pendidikan di Maluku Utara sebenarnya sudah berjalan dengan baik dan memiliki kulaitas yang tinggi dibandingkan dengan daerah lain, dibuktikan dengan tingkat kelulusan dari tahun ke tahun yang lebih baik dan bahkan ada ada beberapa kabupaten yang memiliki lulusan 100% yaitu kabupaten Morotai. (Dikjar Maluku Utara).
Keadaan guru di Maluku Utara perlu mendapatkan perhatian secara khusus. Selain ketercukupan jumlah guru dan regenerasi guru, kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat. Bukan itu saja, sebagian guru di Maluku Utara bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2007-2008 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% swasta. (Dikjar Propinsi).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Dikjar Propinsi menunjukkan dari sekitar 300 guru yang ada di Maluku Utara yang terdapat di sembilan kabupaten/ kota mulai dari guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 250 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 230 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (untuk S3 belum terdata ).
Ketersediaan guru ini akan mempengaruhi pencapaian prestasi siswa. Sebagai misal pencapaian prestasi di bidang tertentu siswa Maluku Utara masih kalah dengan daerah lain yang ada di Indonesia.
Kesempatan memperoleh pendidikan bagi setiap warga Negara masih terbatas yang dirasakan di Maluku Utara pada berbagai jenjang pendidikan. Hal ini terlihat dari data yang dikeluarkan oleh dinas pendidikan yang ada di Maluku Utara Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia di Maluku Utara secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat yang ada di kabupaten/ kota untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
Pemerintah daerah Maluku Utara telah mencanangkan diri sebagai Lumbung Ikan Nasional. Untuk memenuhi harapan ini, Maluku Utara telah mengembangkan rencana strategi yang mendukung pencapaiannya. Beberapa aspek yang akan diprioritaskan adalah mendorong pertumbuhan pendidikan baik dari level sekolah menengah ke bawah maupun pendidikan tinggi. Penduduk usia sekolah (7-24 tahun) dari Maluku Utara rata-rata lebih dari 73%. Ini merupakan potensi yang sangat baik bagi ketersediaan sumber daya manusia yang berkelanjutan. Struktur penduduk yang baik ini menjadi peluang bagi penguatan ekonomi kelautan di Maluku Utara. Kondisi masih sedikitnya sekolah-sekolah berkuliatas yang merata jumlah gurunya.
Wilayah Persentase Penduduk Berumur 7-24 Tahun yang Masih Sekolah
07-Des 13 -15 16 -18 19 -24 Jumlah
Halmahera Barat 99.29 92.63 60.61 22.77 71.57
Halmahera Tengah 98.24 92.46 78.24 15.79 80.70
Kepulauan Sula 97.92 92.22 75.60 19.64 79.06
Halmahera Selatan 96.37 88.01 55.55 7.63 67.31
Halmahera Utara 96.86 95.73 69.17 24.44 72.08
Halmahera Timur 98.06 93.22 65.17 20.91 74.44
Pulau Morotai 97.96 82.75 56.38 14.12 73.28
Pulau Taliabu 100.00 99.12 79.13 50.67 79.24
Ternate 99.30 97.30 76.03 21.71 78.40
Tidore Kepulauan 97.97 93.28 68.67 25.99 74.28

Dari sisi angka partisipasi kasar menunjukkan bahwa penduduk yang sekolah pada berbagai tingkatan pendidikan juga sudah sangat baik. Hal ini menunjukkan kesadaran pendidikan yang baik pada orang tua di Maluku Utara. Dari data kependudukan diketahui 21% penduduk adalah usia sekolah menengah (19-24 tahun). Dengan angka partisipasi murni sebesar 56,82% dan jumlah penduduk 1,5 juta maka aka nada sekitar 187 ribu lulusan sekolah menengah. Data jumlah mahasiswa di perguruan tinggi di Maluku Utara ada sebesar 35.000 mahasiswa. Dengan asumsi bahwa 30% pemuda kuliah di luar Maluku Utara, maka masih lebih dari 100 ribu pemuda yang belum atau tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi. Artinya mereka terserap sebagai tenaga kerja kurang terampil di perbagai jenis sektor ekonomi.
Jenjang Pendidikan Persentase
APM APK
SD / MI 95.46 110.70
SMTP / MTs 70.60 81.98
SMTA / MA 59.21 80.89

Analisis pada distribusi perusahan, tenaga kerja, investasi dan nilai produksi menunjukkan bahwa rasio tertinggi untuk nilai produksi dan investasi ada di Halmahera Selatan. Dengan data ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pendirian pendidikan tinggi yang paling efektif bila didirikan di Halmahera Selatan. Dukungan infrastruktur yang telah ada di Halmahera Selatan akan menjadi pendorong percepatan pertumbuhan institusi. Hal ini menjadi selaras jika wilayah lain dijadikan sources dan di Halmahera Selatan sebagai hub.

PEMBANGUNAN DAERAH-DAERAH TERTINGGAL GUNA PEMANFAATAN IPTEK DALAM RANGKA KETAHANAN NASIONAL

1. POKOK PERMASALAHAN
Pembangunan nasional selama ini diakui belum sepenuhnya mampu meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat di daerah secara merata. Telah terjadi ketimpangan pembangunan antar wilayah terutama terjadi antara Jawa–luar Jawa, antara Kawasan Barat Indonesia (KBI)–Kawasan Timur Indonesia (KTI), serta antar kota-kota dan antara kota–desa. Hal itu disebabkan karena masih banyaknya wilayah-wilayah yang tertinggal termasuk perbatasan, menjadi tantangan dalam pembangunan nasional. Masyarakat yang berada di wilayah tertinggal umumnya kurang tersentuh oleh program–program pembangunan secara menyeluruh sehingga akses terhadap pusat pelayanan sosial, pusat kegiatan sosial ekonomi dan politik menjadi terbatas terutama bagi daerah terisolir. Demikian dengan wilayah-wilayah perbatasan termasuk pulau-pulau kecil terdepan dihadapkan pada tantangan yang cukup besar meski memiliki potensi sumber daya alam dan posisi geografis yang strategis, namun kondisi wilayahnya relatif jauh tertinggal dibandingkan dengan kondisi di wilayah negara tetangga.
Jumlah daerah tertinggal di Indonesia pada akhir tahun 2010 diprediksi akan mengalami peningkatan dari sebelumnya yang mencapai 199 Kabupaten pada tahun 2009 [saat ini tercatat ada 183 kabupaten tertinggal, setelah ada 50 kabupaten menjadi lebih maju]. Apalagi Indeks Prestasi Manusia Indonesia menurun menjadi posisi 111 dunia dari posisi sebelumnya 107 Dunia. Selama ini, status daerah tertinggal kebanyakan berada di wilayah Indonesia bagian timur. Hal itu dikarenakan 40-60 persen dari jumlah penduduknya berada di garis kemiskinan. Sedangkan sisanya sebanyak 58 Kabupaten berada di wilayah Sumatra dan 18 Kabupaten berada di pulau Jawa.
Pertambahan jumlah daerah tertinggal disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah daerah yang tadinya telah maju atau sedang berkembang, kembali terpuruk karena beberapa fasilitas publik dan infrastuktur hancur karena bencana. Munculnya daerah tertinggal pun diakibatkan oleh pemerakaran wilayah. Banyak daerah yang dimekarkan mengalami keterpurukan karena tidak siap dalam pembangunan baik infrastruktur maupun ekonomi. Selain itu, tertinggalnya suatu daerah juga diakibatkan oleh konflik horizontal yang terjadi di masyarakat.
Dengan demikian, memperhatikan berbagai fenomena di daerah tertinggal terkait dengan pembangunan ada permasalahan yang perlu dipecahkan dengan memanfaatkan iptek untuk mencapai ketahanan nasional yang kokoh. Memperhatikan hal tersebut, permasalahan yang dapat diangkat adalah
“Bagaimana melakukan pemberdayaan daerah tertinggal guna pemanfaatan iptek dalam rangka ketahanan nasional”.

2. POKOK-POKOK PERSOALAN
Dengan memperhatikan permasalahan yang ada di masyarakat terkait pembangunan daerah-daerah tertinggal guna pemanfaatan iptek dalam rangka ketahanan nasional adalah sebagai berikut:
a. Rendahnya integrasi mata rantai proses produksi dan distribusi antara kawasan pusat pertumbuhan dengan daerah tertinggal.
b. Belum tersedia koordinasi kebijakan terkait dengan pengembangan suatu ”sistem wilayah pengembangan ekonomi terpadu” antar wilayah strategis cepat tumbuh dengan daerah tertinggal
c. Rendahnya komitmen pemerintah daerah dalam peningkatan kesejahteraan (pendidikan dan kesehatan).
d. Rendahnya pemanfaatan IPTEK tepat guna dalam pemberdayaan UMKM di daerah tertinggal.
3. POKOK-POKOK PEMECAHAN PERSOALAN
Pokok-pokok pemecahan persoalan berdasarkan pada pokok-pokok persoalan akan berupa kebijaksanaan, strategi dan upaya.
Kebijakan
Untuk dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi, perlu dikembangkan kebijakan yang sesuai. Memperhatikan pokok permasalahan dan pokok persolan, kebijakan yang diharapkan cukup efektif adalah:
“Terwujudnya integrasi kapasitas antara daerah tertinggal dan daerah pusat unggulan”.
Strategi
Untuk penerapan kebijakan tersebut perlu dikembangkan strategi. Ada beberapa hal yang dapat digunakan sebagai strategi, yaitu:
a. Melakukan integrasi mata rantai proses produksi dan distribusi antara kawasan pusat pertumbuhan dengan daerah tertinggal.
b. Mengembangkan koordinasi kebijakan pengembangan suatu ”sistem wilayah pengembangan ekonomi terpadu” antar wilayah strategis cepat tumbuh dengan daerah tertinggal
c. Meningkatkan komitmen pemerintah daerah dalam peningkatan kesejahteraan (pendidikan dan kesehatan).
d. Meningkatkan pemanfaatan IPTEK tepat guna dalam pemberdayaan UMKM di daerah tertinggal.
Upaya
Strategi yang baik dapat berhasil ketika upaya yang dilakukan untuk mendukung juga sesuai. Upaya yang dilakukan adalah:
a. Strategi I: Melakukan integrasi mata rantai proses produksi dan distribusi antara kawasan pusat pertumbuhan dengan daerah tertinggal.
1) Pemerintah pusat dan daerah melalui dinas tenaga kerja melakukan peningkatan keterampilan masyarakat usia kerja dalam produksi yang sesuai dengan rantai nilai.
2) Pemerintah pusat berkoordinasi dengan pemerintah daerah menentukan prioritas pengembangan industri sesuai rantai nilai yang dibangun
3) Pemerintah meningkatkan ketersediaan fasilitas industri (birokrasi, energi, infrastruktur, pemodalan) bagi pembentukan UMKM terkait kebijakan industri.
b. Strategi II: Mengembangkan koordinasi kebijakan pengembangan suatu ”sistem wilayah pengembangan ekonomi terpadu” antar wilayah strategis cepat tumbuh dengan daerah tertinggal.
1) Pemda dan Pempus berkoordinasi dalam pengembangan kebijakan pemilihan daerah pusat unggulan dan daerah tertinggal.
2) Pemerintah pusat mengeluarkan perundangan yang mengatur mekanisme koordinasi antara daerah pusat unggulan dan daerah tertinggal.
3) Pemerintah memberikan kemudahan atau insentif kepada daerah-daerah yang berintegrasi dalam pembangunan bersama.
c. Strategi III: Meningkatkan komitmen pemerintah daerah dalam peningkatan kesejahteraan (pendidikan dan kesehatan).
1) Pemerintah Daerah melalui Dinas Pendidikan setempat mempercepat perubahan struktur pendidikan (antara jalur akademik (SMU) dan jalur profesi (SMK) untuk mendukung percepatan pemenuhan tenaga kerja terampil.
2) Pemerintah daerah melalui Dinas kesehatan meningkatkan akses layanan kesehatan kepada masyarakat melalui kerjasama dengan industri.
3) Pemerintah daerah melalui Dinas Tenaga Kerja melakukan pelatihan kewirausahaan sesuai rantai nilai produksi daerah yang dikembangkan.
d. Strategi IV: Meningkatkan pemanfaatan IPTEK tepat guna dalam pemberdayaan UMKM di daerah tertinggal.
1) Pemerintah melalui kementerian ristek melakukan sosialisasi IPTEK tepat guna yang berbasis sumberdaya lokal dan sesuai dengan rantai nilai industri/ produksi.
2) Pemerintah mendorong perbankan untuk memberikan kemudahan modal dan suku bunga yang menarik bagi tumbuhnya wirausaha.
3) Pemerintah daerah mengintegrasikan aktivitas wirausaha dengan rantai produksi daerah tertinggal dengan daerah pusat unggulan.

Daftar Pustaka
—–. (2010) Rangkuman Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014: Prioritas Bidang Kawasan Strategis, Kawasan Perbatasan, Daerah Tertinggal Dan Kawasan Rawan Bencana. Bappenas.
Hadi, Suprayoga. (2007) Analisis Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah Strategis Cepat Tumbuh Dalam Rangka Mendorong Pengembangan Wilayah Tertinggal. Bappenas.
Sugandi, Yogi Suprayogi. (2009) Perlunya Kebijakan Industri Kreatif. Pikiran Rakyat 27 Maret 2009.
Hidayat, Mohamad S. (2009) Roadmap Pembangunan Ekonomi Indonesia 2009 – 2014, Kadin Indonesia.

MENINGKATKAN PENGGUNAAN IPTEK GUNA MENGOPTIMALKAN KEMANDIRIAN BANGSA DI BIDANG EKONOMI DALAM RANGKA KETAHANAN NASIONAL

1. POKOK PERMASALAHAN
Ada korelasi yang erat antara penggunaan IPTEK dengan daya saing. Dalam GCI (global competitiveness index) dinyatakan ada 12 pilar yang diperhatikan untuk meningkatkan daya saing bangsa. Artinya adalah meningkatnya daya saing bangsa akan juga berarti meningkatnya kemandirian bangsa terutama dari sisi ekonomi. Dengan menggunakan model ini dapat dilihat lebih rinci elemen-elemen yang mendukung peningkatan penggunaan iptek. Dengan model ini, dapat dikatakan bahwa iptek perlu digunakan pada dua belas pilar yang ada. Dua belas pilar tersebut dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: factor driven (institusi, infrastruktur, stabilitas makroekonomik, kesehatan dan pendidikan dasar), efficiency driven (pendidikan tinggi dan pelatihan, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, kecanggihan pasar keuangan, kesiapan teknologis, dan ukuran pasar), dan innovation driven (kecanggihan bisnis, inovasi). Di ketiga faktor ini berturut-turut Indonesia berada pada urutan ke 70, 50, dan 40 . Ini bermakna bahwa fokus penggunaan teknologi di prioritaskan pada faktor driven.
Akar permasalahan yang dapat diungkap adalah kurangnya penggunaan IPTEK pada factor driven penumbuh daya saing. Dengan demikian, memperhatikan berbagai fenomena tersebut, ada permasalahan yang perlu dipecahkan agar peningkatan penggunaan iptek dapat mengoptimalkan kemandirian bangsa dalam bidang ekonomi. Permasalahan yang dapat diangkat adalah
“BAGAIMANA MENINGKATKAN PENGGUNAAN IPTEK GUNA MENGOPTIMALKAN KEMANDIRIAN BANGSA DI BIDANG EKONOMI DALAM RANGKA KETAHANAN NASIONAL”.

2. POKOK-POKOK PERSOALAN
Dengan memperhatikan permasalahan yang ada pokok persoalan yang relevan, maka untuk meningkatkan penggunaan IPTEK perlu dukungan pada aspek factor driven. Dan pokok persoalan yang terkait adalah sebagai berikut:
a. Belum ada prioritas IPTEK yang digunakan di berbagai sektor penumbuh ekonomi.
b. Keterbatasan infrastruktur pendukung penggunaan IPTEK di bidang ekonomi.
c. Kurangnya kesiapan pendidikan untuk menyediakan SDM yang mengoperasikan IPTEK di bidang ekonomi.
d. Keterbataan anggaran untuk meningkatkan penggunaan IPTEK.
3. POKOK-POKOK PEMECAHAN PERSOALAN
Pokok-pokok pemecahan persoalan berdasarkan pada pokok-pokok persoalan akan berupa kebijaksanaan, strategi dan upaya.
Kebijakan
Untuk dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi, perlu dikembangkan kebijakan yang sesuai. Memperhatikan pokok permasalahan dan pokok persolan, kebijakan yang diharapkan cukup efektif adalah:
TERIMPLEMENTASIKANNYA PRIORITAS IPTEK YANG DIGUNAKAN OLEH INSTITUSI BIDANG EKONOMI
Strategi
Untuk penerapan kebijakan tersebut perlu dikembangkan strategi. Ada beberapa hal yang dapat digunakan sebagai strategi, yaitu:
a. Menentukan jenis dan prioritas IPTEK yang digunakan di berbagai sektor penumbuh ekonomi agar tidak terjadi pemborosan investasi IPTEK yang didukung dengan berbagai penetapan ukuran kinerja institusi.
b. Meningkatkan ketersediaan infrastruktur pendukung penggunaan IPTEK di bidang ekonomi agar tingkat pertukaran sumber pengetahuan lebih cepat dan efektif dalam kerangka KBE.
c. Meningkatkan kesiapan pendidikan untuk menyediakan SDM yang mengoperasikan IPTEK di bidang ekonomi agar utitas IPTEK yang digunakan lebih tinggi yang didukung kebijakan bidang pendidikan tinggi dan menengah vokasi.
d. Menentukan prioritas anggaran untuk meningkatkan penggunaan IPTEK agar pemanfaatan aggaran lebih efisien yang didukung dengan peraturan yang mencakup proporsi anggaran IPTEK.
Upaya
Strategi yang baik dapat berhasil ketika upaya yang dilakukan untuk mendukung juga sesuai. Upaya yang dilakukan adalah:
a. Strategi I: Menentukan jenis dan prioritas IPTEK yang digunakan di berbagai sektor penumbuh ekonomi agar tidak terjadi pemborosan investasi IPTEK yang didukung dengan berbagai penetapan ukuran kinerja institusi.
1) Pemerintah melalui KEMENRISTEK melakukan technology assessment pada departemen-departemen yang terkait langsung dengan bidang ekonomi
2) Pemerintah melalui BAPPENAS memfasilitasi departemen-departemen yang terkait langsung dengan bidang ekonomi melakukan technology prioritizing
b. Strategi II: Meningkatkan ketersediaan infrastruktur pendukung penggunaan IPTEK di bidang ekonomi agar tingkat pertukaran sumber pengetahuan lebih cepat dan efektif dalam kerangka KBE.
1) Pemerintah melalui Kemenkominfo mengatur kembali distribusi bandwidth nasional agar tercapai distribusi yang proporsional.
2) Pemerintah malalui Kementerin Perindustrian mendorong upgrading IPTEK di industri SME (Small & Medium Enterprice) baik untuk mesin produksi maupun pendukungnya.
c. Strategi III: Meningkatkan kesiapan pendidikan untuk menyediakan SDM yang mengoperasikan IPTEK di bidang ekonomi agar utitas IPTEK yang digunakan lebih tinggi yang didukung kebijakan bidang pendidikan tinggi dan menengah vokasi.
1) Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional memperbaiki kebijakan terkait porporsi vokasi dan akademik di SMK dan PT.
2) Pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Pendidikan Nasional menyelenggarakan pelatihan atau short course untuk meningkatkan keterampilan operator IPTEK.
d. Strategi IV: Menentukan prioritas anggaran untuk meningkatkan penggunaan IPTEK agar pemanfaatan aggaran lebih efisien yang didukung dengan peraturan yang mencakup proporsi anggaran IPTEK.
1) Pemerintah menerapkan anggaran berbasis outcome untuk aktivitas yang menggunakan investasi IPTEK.
2) Pemerintah melakukan evaluasi kinerja terstruktur terintegrasi antar departemen untuk melihat pengaruhnya pada pertumbuhan ekonomi.
Daftar Pustaka
Ardhi Suryadhi. (2010) 6 Kunci Peningkat Daya Saing Industri TI diakses dari http://www.detikinet.com/read/2009/10/14/155509/1221403/398/6-kunci-peningkat-daya-saing-industri-ti
Aris Ananta, (2010) Investasi Asing, Ekspor, & Pendapatan Nasional. Diakses dari http://economy.okezone.com/read/2010/04/13/279/321984/279/investasi-asing-ekspor-pendapatan-nasional
Global Technology Forum. (2010) Market Indicators and Forecasts: Telecoms and technology
Hidayat, Mohamad S. (2009) Roadmap Pembangunan Ekonomi Indonesia 2009 – 2014, Kadin Indonesia.
Ristek. (2006) BUKU PUTIH: Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi Tahun 2005-2025, Jakarta.
Tatang A. Taufik, Kebijakan Inovasi Di Indonesia: Bagaimana Sebaiknya?, Jurnal Dinamika Masyarakat . Vol. VI, No. 2, Agustus 2007.

MENDORONG INOVASI DALAM BIDANG IPTEK GUNA MENINGKATKAN DAYA SAING BANGSA DALAM RANGKA KETAHANAN NASIONAL

1. POKOK PERMASALAHAN
Pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) pada hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka membangun peradaban bangsa. Sejalan dengan paradigma baru di era globalisasi yaitu Tekno-Ekonomi (Techno-Economy Paradigm), teknologi menjadi faktor yang memberikan kontribusi signifikan dalam peningkatan kualitas hidup suatu bangsa. Implikasi paradigma ini adalah terjadinya proses transisi perekonomian dunia yang semula berbasiskan pada sumber daya (Resource Based Economy) menjadi perekonomian yang berbasiskan pengetahuan (Knowledge Based Economy/KBE). Pada KBE, kekuatan bangsa diukur dari kemampuan iptek sebagai faktor primer ekonomi menggantikan modal, lahan dan energi untuk peningkatan daya saing .
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan faktor yang sangat penting dalam menopang kemajuan perekonomian dan peningkatan kesejahteraan bangsa secara berkelanjutan. Dengan begitu inovasi akan tumbuh sehingga meningkatkan produktivitas perekonomian dan daya saing bangsa. Ada enam jenis input yang menjadi faktor pemungkin (enablers) untuk memajukan inovasi, yakni: (1) besarnya pengeluaran untuk riset dan pengembangan (R&D) sebagai persentase dari produk domestik bruto (PDB); (2) kualitas infrastruktur riset lokal; (3) tingkat pendidikan pekerja; (4) ketrampilan teknik pekerja; (5) kualitas teknologi informasi dan infrastuktur komunkasi; dan (6) penetrasi broadband .
Situasi saat ini menunjukkan bahwa masih banyak hasil riset yang belum sinergis dengan permasalahan yang ada di masyarakat. Hasil riset yang lebih banyak berakhir hanya sampai publikasi paper dan paten ternyata tidak relevan dengan kebutuhan riil di lapangan. Kondisi tersebut diperparah dengan terjadinya tumpang tindih riset di perguruan tinggi dan lembaga litbang pemerintah akibat anggaran riset dari APBN belum fokus pada bidang-bidang yang relevan dengan permasalahan bangsa .
Peran Iptek dalam aktivitas perekonomian yang digambarkan dengan Total Factor Productivity (TFP) di Indonesia adalah yang paling rendah di antara negara-negara ASEAN. Hal ini dipertegas oleh nilai ekspor Indonesia tahun 1996 sampai 2009 yang didominasi oleh produk-produk yang kandungan teknologinya rendah. Sementara impor Indonesia didominasi oleh produk industri, tambang, dan produk industri makanan dengan kandungan teknologi yang tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia belum dapat memperoleh manfaat nilai tambah yang maksimal melalui pemanfaatan teknologi dalam pengelolaan sumber daya alam. Investasi industri untuk litbang teknologi masih sangat terbatas, sehingga kemampuan industri dalam menghasilkan teknologi masih rendah. Di samping itu, beberapa industri besar dan industri yang merupakan Penanaman Modal Asing (PMA) mempunyai ketergantungan yang besar pada teknologi yang berasal dari industri induknya atau dari negara asing. Akibatnya ketergantungan semakin besar pada negara asing penghasil teknologi dan kurangnya pemanfaatan teknologi hasil litbang dalam negeri. Ketergantungan industri pada teknologi impor antara lain disebabkan oleh kelemahan lembaga litbang nasional dalam menyediakan teknologi yang siap pakai. Hal ini disebabkan oleh rendahnya produktivitas litbang yang disebabkan oleh belum efektifnya kelembagaan, sumber daya, dan jaringan Iptek.
Dengan demikian, memperhatikan berbagai fenomena di daerah tertinggal terkait dengan pembangunan ada permasalahan yang perlu dipecahkan dengan memanfaatkan iptek untuk mencapai ketahanan nasional yang kokoh. Memperhatikan hal tersebut, permasalahan yang dapat diangkat adalah

“BAGAIMANA MENDORONG INOVASI DALAM BIDANG IPTEK GUNA MENINGKATKAN DAYA SAING BANGSA DALAM RANGKA KETAHANAN NASIONAL ”.

2. POKOK-POKOK PERSOALAN
Dengan memperhatikan permasalahan yang ada terkait mendorong inovasi dalam bidang iptek guna meningkatkan daya saing bangsa dalam rangka ketahanan nasional adalah sebagai berikut:
a. BELUM OPTIMALNYA MEKANISME INTERMEDIASI IPTEK
b. LEMAHNYA SINERGI KEBIJAKAN IPTEK
c. MASIH TERBATASNYA SUMBER DAYA IPTEK
3. POKOK-POKOK PEMECAHAN PERSOALAN
Pokok-pokok pemecahan persoalan berdasarkan pada pokok-pokok persoalan akan berupa kebijaksanaan, strategi dan upaya.
Kebijakan
Untuk dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi, perlu dikembangkan kebijakan yang sesuai. Memperhatikan pokok permasalahan dan pokok persolan, kebijakan yang diharapkan cukup efektif adalah:
“TERTINGKATKANNYA KONTRIBUSI INOVASI IPTEK NASIONAL DI SEKTOR PRODUKSI NASIONAL”.
Strategi
Untuk penerapan kebijakan tersebut perlu dikembangkan strategi. Ada beberapa hal yang dapat digunakan sebagai strategi, yaitu:
a. Mengoptimalkan mekanisme intermediasi iptek melalui peningkatan efektifitas sistem komunikasi antara lembaga litbang dan pihak industri, penataan infrastruktur iptek, penyediaan sistem komunikasi antara lembaga litbang dan pihak industri
b. Meningkatkan sinergi kebijakan iptek melalui perbaikan kebijakan bidang pendidikan, industri, dan iptek, pemanffatan kapasitas yang tidak termanfaatkan pada sisi penyedia, perbaikan sistem transaksi inovasi iptek, peningkatan permintaan dari sisi pengguna, perbaikan kebijakan fiskal bagi pengembangan inovasi iptek.
c. Masih terbatasnya sumber daya iptek melalui peningkatan anggaran iptek, perbaikan fasilitas riset, biaya operasi dan pemeliharaan, peningkatan insentif peneliti, penyediaan lembaga keuangan modal ventura dan start-up capital
Upaya
Strategi yang baik dapat berhasil ketika upaya yang dilakukan untuk mendukung juga sesuai. Upaya yang dilakukan adalah:
a. Strategi I: Mengoptimalkan mekanisme intermediasi iptek melalui peningkatan efektifitas sistem komunikasi antara lembaga litbang dan pihak industri, penataan infrastruktur iptek, penyediaan sistem komunikasi antara lembaga litbang dan pihak industri
1) Pemerintah memfasilitasi forum-forum untuk meningkatan efektifitas sistem komunikasi antara lembaga litbang dan pihak industri,
2) Lembaga riset di ABG melakukan penataan infrastruktur iptek untuk terbentuk SIG (special interest group)
3) Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi menyediakan sistem komunikasi antara lembaga litbang dan pihak industri
b. Strategi II: Meningkatkan sinergi kebijakan iptek melalui perbaikan kebijakan bidang pendidikan, industri, dan iptek, pemanffatan kapasitas yang tidak termanfaatkan pada sisi penyedia, perbaikan sistem transaksi inovasi iptek, peningkatan permintaan dari sisi pengguna, perbaikan kebijakan fiskal bagi pengembangan inovasi iptek.
1) Pemerintah dan DPR mengevaluasi aturan dan kebijakan bidang pendidikan, industri, dan iptek agar lebih sinkron
2) Pemerintah melalui Kementerian Riset dan Teknologi mengelola resources sharing untuk pemanfaatan kapasitas yang tidak termanfaatkan pada sisi penyedia.
3) Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian mengevaluasi sistem transaksi inovasi iptek agar memperpendek product time to market.
4) Pemerintah memberikan berbagai insentif industri bagi pengguna teknologi konten dalam negeri.
5) Pemerintah memberikan kebijakan fiskal bagi pengembangan inovasi iptek agar terlindungi keberlanjutan inovasi.
c. Strategi III: Masih terbatasnya sumber daya iptek melalui peningkatan anggaran iptek, perbaikan fasilitas riset, biaya operasi dan pemeliharaan, peningkatan insentif peneliti, penyediaan lembaga keuangan modal ventura dan start-up capital
1) Pemerintah melakukan pemetaan alokasi anggaran iptek di setiap institusi inovasi iptek di ABG
2) Pemerintah dan DPR mengembangkan kebijakan untuk peningkatan anggaran iptek berorientasi daya saing.
3) ABG berkoordinasi untuk perbaikan fasilitas riset, biaya operasi dan pemeliharaan agar sesuai prioritas inovasi nasional.
4) Pemerintah melalui berbagai lembaga riset dan inovasi meningkatkan insentif peneliti, penyediaan lembaga keuangan modal ventura dan start-up capital untuk keberlanjutan inovasi.
Daftar Pustaka
Ardhi Suryadhi. (2010) 6 Kunci Peningkat Daya Saing Industri TI diakses dari http://www.detikinet.com/read/2009/10/14/155509/1221403/398/6-kunci-peningkat-daya-saing-industri-ti
Aris Ananta, (2010) Investasi Asing, Ekspor, & Pendapatan Nasional. Diakses dari http://economy.okezone.com/read/2010/04/13/279/321984/279/investasi-asing-ekspor-pendapatan-nasional
Global Technology Forum. (2010) Market Indicators and Forecasts: Telecoms and technology
Hidayat, Mohamad S. (2009) Roadmap Pembangunan Ekonomi Indonesia 2009 – 2014, Kadin Indonesia.
Tatang A. Taufik, Kebijakan Inovasi Di Indonesia: Bagaimana Sebaiknya?, Jurnal Dinamika Masyarakat . Vol. VI, No. 2, Agustus 2007

PENINGKATAN PENGELOLAAN KELAUTAN DAN PERIKANAN GUNA MEMANFAATKAN PEMAJUAN IPTEK DALAM RANGKA MEMPERKOKOH KETAHANAN NASIONAL

  1. POKOK PERMASALAHAN

Dalam banyak hal, pengelolaan kelautan dan perikanan di Indonesia masih ditemukan praktik manipulasi data fisik kapal. Berdasarkan Permen KP No. 5 Tahun 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap, bahwa para pemilik kapal tersebut harus mendapat izin dari Ditjen Perikanan Tangkap, bukan dari pemerintah provinsi. Praktik serupa juga terjadi di Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam pengurusan izin perikanan. Beberapa kapal yang seharusnya melakukan penangkapan ikan di jalur di atas 12 mil terkadang juga melakukan di jalur kurang dari 12 mil. Pemalsuan data fisik kapal penangkap ikan ini merupakan salah satu indikasi kegagalan Kementerian Kelautan dan Perikanan mengelola sumber daya perikanan Indonesia[1]. Dapat dikatakan bahwa kapasitas Kementrian Kelautan dan Perikanan masih rendah. Tentang kewenangan pengelolaan sumber daya laut diberikan kepada pemerintah propisi paling jauh 12 mil dan 1/3 untuk kabupaten/ kota sebagaimana diatur dalam UU no 32 tahun 2004[2].

Kasus illegal fishing mencakup tidak hanya kapal penangkap ikan illegal, tapi termasuk juga “kapal induk (mothership)” yang sering berada di perbatasan dua negara untuk menampung ikan hasil jarahan. Hal ini salah satu menyebab kegagalan penanganannya adalah karena tidak adanya manajemen perikanan di perbatasan dua negara, sistem pendataan dan informasi terkait dengan perikanan[3]. Sumber daya manusia dan dukungan teknologi serta infrastruktur yang belum memadai menyebabkan pengelolaan kelautan dan perikanan belum cukup efektif. Sehingga, potensi lestari (Maximum Sustainable Yield : MSY) sumber daya ikan laut Indonesia yang diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun atau sekitar 7,5% dan total potensi lestari stok ikan laut dunia sebesar 95 juta ton/ltahun belum termanfaatkan (saat ini potensi perikanan tangkap di laut secara nasional baru sekitar 4,4 juta ton atau 69% potensi lestari)[4].

Dengan memperhatikan fenomena di atas, permasalahan yang perlu diperhatikan adalah “Bagaimana memperbaiki capacity building pengelolaan kelautan dan perikanan guna memanfaatkan pemajuan iptek dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional”.

  1. POKOK-POKOK PERSOALAN

Dengan memperhatikan permasalahan internal dan eksternal, maka dapat diidentifikasi persoalan dalam peningkatan pengelolaan kelautan dan perikanan guna memanfaatkan pemajuan iptek dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional sebagai berikut:

  1. Rendahnya technopreunership nelayan Indonesia dalam memanfaatkan kekayaan ikan laut. Hal ini dapat disebabkan oleh rendahnya kemampuan, ketrampilan, dan dukungan sarana prasarana aktivitas pengelolaan perikanan.
  2. Belum tersedianya sistem informasi maupun knowledge management untuk mempercepat pertumbuhan industri berbasis kelautan dan perikanan.
  3. Belum optimalnya peran lembaga terkait kelautan dan perikanan dalam pemberdayaan masyarakat dan diplomasi antar negara terkait pengelolaan kelautan dan perikanan.
  4. Belum dimanfaatkannya jaringan pengembangan teknologi di pemerintah, dunia usaha, dan perguruan tinggi (triple helix) untuk menghasilkan IPTEK terkait pengelolaan kelautan dan perikanan.
  5. POKOK-POKOK PEMECAHAN PERSOALAN

Pokok-pokok pemecahan persoalan berdasarkan pada pokok-pokok persoalan akan berupa kebijaksanaan, strategi dan upaya.

Kebijakan

Untuk dapat peningkatan pengelolaan kelautan dan perikanan guna memanfaatkan pemajuan iptek dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional, perlu dikembangkan kebijakan yang sesuai. Memperhatikan pokok permasalahan dan pokok persolan, kebijakan yang diharapkan cukup efektif adalah:

Tertingkatkannya kapasitas kelembagaan, technopreunership nelayan, sinergi triple helix (Goverment, Business, and Higher Education) guna memanfaatkan pemajuan iptek dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional  ”.

Strategi

Untuk penerapan kebijakan tersebut perlu dikembangkan strategi. Ada beberapa hal yang dapat digunakan sebagai strategi, yaitu:

  1. Meningkatkan jiwa technopreunership nelayan Indonesia dalam memanfaatkan kekayaan ikan laut.
  2. Meningkatkan efektivitas sistem informasi maupun knowledge management untuk mempercepat pertumbuhan industri berbasis kelautan dan perikanan.
  3. Mengoptimalkan peran lembaga terkait kelautan dan perikanan dalam pemberdayaan masyarakat dan diplomasi antar negara terkait pengelolaan kelautan dan perikanan.
  4. Memfokuskan jaringan pengembangan teknologi di pemerintah, dunia usaha, dan perguruan tinggi (triple helix) untuk menghasilkan IPTEK terkait pengelolaan kelautan dan perikanan.

Upaya

Strategi yang baik dapat berhasil ketika upaya yang dilakukan untuk mendukung juga sesuai. Upaya yang dilakukan adalah:

  1. Strategi I: Meningkatkan jiwa technopreunership nelayan Indonesia dalam memanfaatkan kekayaan ikan laut.
    • Pemerintah mengembangkan sistem rantai nilai industri kelautan dan perikanan bagi pelaku usaha kelautan dan perikanan (dari nelayan hingga pemasar produk olahannya).
    • Pemerintah mendorong perbankan mengembangkan berbagai skema pendanaan SME (small and Medium Enterprice) bersuku bunga rendah untuk memacu sektor riil dunia usaha kelautan dan perikanan.
    • Pemerintah melalui Kementrian Perindustrian dan Kementrian Pendidikan mengembangkan pelatihan dan pedidikan tentang teknologi hilir hingga hulu kepada pelaku usaha.
  2. Strategi II: Meningkatkan efektivitas sistem informasi maupun knowledge management untuk mempercepat pertumbuhan industri berbasis kelautan dan perikanan.
    • Pemerintah melalui Kementrian Riset dan Teknologi, Kementrian Perindustrian, dan Perguruan Tinggil mengembangkan database dan sistem informasi untuk mendukung ketersediaan knowledge management dalam pengelolaan kelautan dan perikanan.
    • Pemerintah bersama organisasi non pemerintah melakukan pemberdayaan dan sosialisasi best practice pengelolaan kelautan dan perikanan kepada masyarakat nelayan
  3. Strategi III: Mengoptimalkan peran lembaga terkait kelautan dan perikanan dalam pemberdayaan masyarakat dan diplomasi antar negara terkait pengelolaan kelautan dan perikanan.
    • Pemerintah melalui Kementrian Luar Negeri dan Kementrian Kelautan dan Perikanan melakukan diplomasi antar negara tetangga dalam pemanfaatan bersama informasi kelautan dan perikanan di daerah perbatasan laut.
    • Pemerintah melalui Kementrian Kelautan dan Perikanan dan Kementrian Perdagangan mengembangkan pasar dalam dan luar negeri untuk pelepasan produk berbasis kelautan dan perikanan.
    • Pemerintah melalui Kementrian Kelautan dan Perikanan serta Kementrian Ketenagakerjaan menyelenggarakan pelatihan packaging dan distritution yang sesuai standar internasional untuk produk olahan kelautan dan perikanan.
  4. Strategi IV: Memfokuskan jaringan pengembangan teknologi di pemerintah, dunia usaha, dan perguruan tinggi (triple helix) untuk menghasilkan IPTEK terkait pengelolaan kelautan dan perikanan.
    • Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan membuka program studi baru terkait pengelolaan kelautan dan perikanan baik di bawah fakultas teknologi maupun manajemen.
    • Pemerintah memberikan fokus lebih bagi riset-riset teknologi kelautan dan perikanan baik teknologi infrastruktur (perkapalan, dermaga, dll) maupun teknologi utama (pengolahan produk perikanan, e-commerce, supply chain, dll) untuk pengelolaan kelautan dan perikanan.
    • Pemerintah, dunia usaha, dan pendidikan tinggi melakukan koordinasi komunikasi, dan publikasi hasil melalui forum-forum nasional tentang efektivitas pengelolaan kelautan dan perikanan.

 

Daftar Pustaka

Pokja SKA, Sumber Kekayaan Alam Indonesia Perannya dalam Pembangunan Nasional, Lemhannas RI, 2010

[1] Erwin Tambunan,  Kiara minta pemerintah tindak 9 kapal ikan, http://web.bisnis.com/sektor-riil/agribisnis/1id179444.html?PHPSESSID=20p5lhr8oga8u27mcdn3ds5fp6, diakses tanggal 8 Juli 2010 pkl. 21.13 wib.

[2] Pokja SKA, Sumber Kekayaan Alam Indonesia Perannya dalam Pembangunan Nasional, Lemhannas RI, 2010

[3] -, Indonesia dan Australia Tingkatkan Kerjasama Kelautan dan Perikanan, http://mukhtar-api.blogspot.com/2009/03/indonesia-dan-australia-tingkatkan.html, diakses tanggal 8 Juli 2010 pkl. 21.58 wib

[4] -, Regional Plan of Action on Capacity Building and MCS Curriculum Development Workshop, http://www.rpoa.sec.dkp.go.id/, diakses tanggal 8 Juli 2010 pkl. 22.32 wib

PENGELOLAAN WILAYAH LAUT ZEE GUNA PENGUASAAN, PEMANFAATAN DAN PEMAJUAN IPTEK DALAM RANGKA KETAHANAN NASIONAL

  1. Pokok Permasalahan

Indonesia adalah negara berpenduduk terbanyak keempat (234,893,453 orang, estimasi Juli 2003). Nyaris seluruhnya (95.9%) berdiam di kawasan yang berada dalam jarak 100 km dari garis pantai. Pantai Indonesia yang terentang sepanjang 95,180.8 km adalah terpanjang kelima di dunia (setelah Kanada, Amerika Serikat, dan Rusia). Luas total wilayah Indonesia yang 7.9 juta km2 terdiri dari 1.8 juta km2 daratan, 3.2 juta km2 laut teritorial dan 2.9 juta km2 perairan ZEE. Wilayah perairan 6.1 juta km2 tersebut adalah 77% dari seluruh luas Indonesia, dengan kata lain luas laut Indonesia adalah tiga kali luas daratannya.[1]

Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 mengandung makna bahwa Negara Indonesia adalah satu kesatuan yang meliputi tanah (daratan) dan air (lautan) secara tidak terpisahkan sebagai “Negara Kepulauan”. Negara kepulauan tersebut, kemudian diberikan landasan hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Deklarasi tersebut mengakibatkan suatu perubahan mendasar dalam struktur kewilayahan Negara Republik Indonesia karena laut tidak lagi dianggap sebagai pemisah pulau-pulau, tetapi pemersatu yang menjadikan kese-luruhannya suatu kesatuan yang utuh[2].

Deklarasi yang diumumkan pada saat perjuangan bangsa Indonesia mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah kedaulatan Negara Republik Indonesia juga banyak menghadapi kesulitan, antara lain karena perairan Indonesia di sekitar Irian Barat masih dianggap sebagai perairan internasional yang bebas dimanfaatkan oleh siapa saja. Selain alasan terhadap ancaman pertahanan-keamanan, tindakan Pemerintah ini didasarkan pula bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta ruang udara di atasnya diperuntukkan bagi kemakmuran dan kesejahteraan bangsa[3]. Kebijaksanaan tersebut juga ingin memberikan bentuk nyata kepada kesatuan dalam keanekaragaman (Bhinneka Tunggal Ika) yang menjadi semboyan bangsa Indonesia.

Baik Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 maupun Undang- undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia dilandasi oleh Wawasan Nusantara, yang kemudian sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/1983 ditetapkan sebagai wawasan dalam mencapai pembangunan nasional yang mencakup perwujudan nusantara sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan-keamanan. Sejak diumumkannya Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah Indonesia terus memperjuangkan agar konsepsi hukum negara kepulauan diterima dan diakui masyarakat internasional. Perjuangan tersebut akhirnya telah menghasilkan pengakuan masyarakat internasional secara universal (semesta) yaitu dengan diterimanya pengaturan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan (Archipelagic State) dalam Bab IV Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982. Konvensi tersebut telah diratifikasi oleh Pemerintah dengan Undang- undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut).

Perubahan kedudukan Negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan membawa implikasi yang sangat luas tidak saja terhadap kepentingan nasional, tetapi juga terhadap kepentingan internasional di perairan Indonesia[4]. Pengakuan dunia internasional terhadap asas negara kepulauan sebagai penjelmaan aspirasi bangsa Indonesia, membawa konsekuensi bahwa Indonesia juga harus menghormati hak-hak masyarakat internasional di perairan yang kini menjadi perairan nasional, terutama hak lintas damai dan hak lintas alur laut kepulauan bagi kapal-kapal asing.[5]

Ditinjau dari segi ketatanegaraan, Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 dan Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia merupakan tonggak sejarah dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang kemudian diakui oleh dunia internasional dengan dimuatnya asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam BAB IV Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982. Ketentuan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam Konvensi tersebut mengandung berbagai pengembangan dari konsepsi negara kepulauan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Salah satu pengembangan tersebut adalah dengan diakuinya garis pangkal lurus kepulauan, di samping garis pangkal biasa dan garis pangkal lurus sebagai cara pengukuran garis pangkal kepulauan Indonesia. Berdasarkan cara pengukuran tersebut, maka dalam wilayah perairan Indonesia terdapat lebih kurang 17.508 pulau yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia[6].

Dengan memperhatikan fenomena di atas, permasalahan yang perlu diperhatikan adalah “Bagaimana Pengelolaan Wilayah Laut ZEE dalam keterbatasan SDM, infrastruktur, dan regulasi Guna Penguasaan, Pemanfaatan Dan Pemajuan IPTEK Dalam Rangka Ketahanan Nasional”.

 

 

  1. Pokok-pokok Persoalan

Dengan memperhatikan permasalahan internal dan eksternal, maka dapat diidentifikasi persoalan dalam Pengelolaan Wilayah Laut ZEE Guna Penguasaan, Pemanfaatan Dan Pemajuan IPTEK Dalam Rangka Ketahanan Nasional sebagai berikut:

  1. Masih adanya problem internal bidang kelautan seperti SDM relatif rendah, prasarana dan sarana pembangunan terbatas dan keterbelakangan masyarakat.
  2. Masih rendahnya koordinasi dan kesadaran semua pihak untuk membangun perekonomian kelautan, baik oleh pemerintah, masyarakat dan stakeholder
  3. Belum adanya lembaga Negara tunggal di laut yang menjadikan perairan Indonesia sebagai ladang bagi beberapa instansi untuk kepentingan tertentu.
  4. Rendahnya kesadaran bangsa tentang arti penting dan nilai strategis sumberdaya kelautan bagi pembangunan ekonomi nasional (kemakmuran bangsa) yang menyebabkan perhatian, pengetahuan (wawasan) dan penguasaan serta penerapan IPTEK Kelautan menjadi rendah juga.
  5. Pokok-pokok Pemecahan Persoalan

 

Pokok-pokok pemecahan persoalan berdasarkan pada pokok-pokok persoalan akan berupa kebijaksanaan, strategi dan upaya.

 

Kebijakan

Untuk dapat mengelola wilayah laut ZEE guna penguasaan, pemanfaatan dan pemajuan IPTEK dalam rangka Ketahanan Nasional, perlu dikembangkan kebijakan yang sesuai. Memperhatikan pokok permasalahan dan pokok persolan, kebijakan yang diharapkan cukup efektif adalah  “Tertingkatkannya kesadaran negara bahari yang didukung SDM, infrastruktur, dan peraturan secara terintegrasi dalam pengelolaan kekayaan laut wilayah ZEE”.

Strategi

Untuk penerapan kebijakan tersebut perlu dikembangkan strategi. Ada beberapa hal yang dapat digunakan sebagai strategi, yaitu:

  1. Melakukan penguatan dan konsolidasi internal bidang kelautan seperti SDM, prasarana dan sarana pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
  2. Melakukan koordinasi dan kesadaran semua pihak untuk membangun perekonomian kelautan, baik oleh pemerintah, masyarakat dan stakeholder
  3. Membentuk lembaga Negara tunggal di laut yang menjadikan perairan Indonesia sebagai ladang bagi beberapa instansi untuk kepentingan tertentu.
  4. Meningkatkan kesadaran bangsa tentang arti penting dan nilai strategis sumberdaya kelautan bagi pembangunan ekonomi nasional

Upaya

Strategi yang baik dapat berhasil ketika upaya yang dilakukan untuk mendukung juga sesuai. Upaya yang dilakukan adalah:

  1. Strategi I: Penguatan dan konsolidasi internal bidang kelautan seperti SDM, prasarana dan sarana pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
    1. Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan melakukan perubahan proporsi struktur pendidikan S1-D3 untuk mendorong penguatan SDM.
    2. Pemerintah daerah yang memiliki laut mengembangkan sarana-prasarana pendukung perekonomian kelautan seperti sistem birokrasi, pendanaan, pelatihan terkait.
    3. Tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama melakukan sosialisasi dan edukasi tentang masyarakat bahari dan pemberdayaan ekonomi kelautan.
  2. Strategi II: Melakukan koordinasi dan kesadaran semua pihak untuk membangun perekonomian kelautan, baik oleh pemerintah, masyarakat dan stakeholder
    1. Pemerintah melakukan perbaikan sistem perundangan terkait dengan pelayaran nasional. Dengan hal ini diharapkan akan terjadi penggairahan transportasi maritim Indonesia yang saat masih banyak dikuasai oleh perusahaan angkutan asing, baik angkutan domestik maupun internasional.
    2. Pemerintah meningkatkan ketersediaan infrastruktur penunjang usaha jasa angkutan. Beberapa aktivtas penunjang adalah bongkar muat barang, jasa pengurusan transportasi (freight forwarding), ekspedisi muatan kapal laut, angkutan di perairan pelabuhan, penyewaan peralatan angkutan laut atau alat apung, dan depo peti kemas.
    3. Pemerintah melakukan koordinasi antar departemen untuk penyusunan prioritasi pemberdayaan kelautan. Kebijakan-kebijakan yang terintegrasi dan komprehensif dari berbagai instansi akan dapat mempercepat pemberdayaan ekonomi kelautan.
  3. Strategi III: Membentuk lembaga Negara tunggal di laut yang menjadikan perairan Indonesia sebagai ladang bagi beberapa instansi untuk kepentingan tertentu.
    1. Pemerintah bersama DPR menyusun peraturan perundangan tentang struktur, mekanisme, pengelolaan terkait dengan pemberdayaan kelautan.
    2. Pemerintah melakukan koordinasi antar departemen untuk pembentukan lembaga tunggal terkait koordinasi dan otoriasasi pemberdayaan kelautan.
  4. Strategi IV: Meningkatkan kesadaran bangsa tentang arti penting dan nilai strategis sumberdaya kelautan bagi pembangunan ekonomi nasional.
    1. Pemerintah bersama DPR meperbaiki peraturan terkait kebijakan anggaran. Dengan hal ini maka pemerintah melalui Kementrian Ristek dan Lembaga-lembaga Penelitian melakukan fokus perencanaan, dan pengembangan produk teknologi berbasis keanekaragaman hayati. Dengan adanya keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia, maka potensi ekonomi industri bioteknologi kelautan sangatlah besar, berupa industri farmasi, kosmetika, bio-energi, dan industri lainnya.
    2. Pemerintah memberikan fasilitasi pengembangan teknologi dan industri eksplorasi kelautan dalam negeri. Potensi tambang yang ada di laut merupakan potensi yang sangat tinggi. Hanya saja processing industry yang tidak kuat menyebabkan nilai tambah produk masih rendah.
    3. Perguruan Tinggi dan institusi pendidikan lain mengembangkan program-program studi yang terkait pemberdayaan kelautan. Ketersediaan SDM yang cukup dalam bidang ini akan mempercepat pemberdayaan kelautan.

 

 

Daftar Pustaka

  1. Idris, Fahmi. ”Kebijakan dan Strategi Pengembangan Industri Nasiona”. Artikel setneg.go.id.
  2. Kuncoro, Mudrajat. Ekonomika Industri Indonesia “Menuju Negara Industri Maju 2030”, Andi Yogyakarta. Yogyakarta, 2007
  3. Rafiq Iskandar, Zulfa. ”Pembangunan Ekonomi Kelautan Indonesia”. Blog http://www.wordpress.com. 2009
  4. Worosuprodjo, Suratman. “Mengelola Potensi Geografis Indonesia Untuk Pembangunan Wilayah Berkelanjutan”.

[1] UNEP, United Nations Environment Program, 2003

[2] Idris, Fahmi. ”Kebijakan dan Strategi Pengembangan Industri Nasiona”. Artikel www.setneg.go.id.

[3] Ikatan Sakura Indonesia  http://www.isiindonesia.com

[4] Deddy Koespramoedyo, Keterkaitan Rencana Pembangunan Nasional Dengan Penataan Ruang

[5] Kadin Batam, Ekonomi Lintas Batas

[6] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia

MENINGKATKAN KERJASAMA KEAMANAN ASEAN GUNA MEMELIHARA STABILITAS KEAMANAN YANG KONDUSIF DALAM RANGKA MEMPERKOKOH KETAHANAN NASIONAL

  1. Pokok Permasalahan

Pada KTT ASEAN 1997, para pemimpin negara-negara di kawasan Asia Tenggara itu mengeluarkan pernyataan tentang “Visi ASEAN 2020”. Melalui visi tersebut, negara-negara anggota ASEAN sepakat untuk mempererat kesatuan dan integrasi ekonomi serta memutuskan untuk meningkatkan kerjasama ekonomi antara lain dengan “menerapkan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN dan mempercepat liberalisasi perdagangan”[i]. Penguatan usaha pencapain visi ini, Indonesia pada KTT ASEAN ke-9 yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, 7-8 Oktober 2003 dengan pembentukan Komunitas Keamanan ASEAN (ASC-ASEAN Security Community). Pencetusan Bali Concord II pada KTT ke-9 berisi tiga konsep komunitas ASEAN yang terdiri dari tiga pilar, yaitu Komunitas Keamanan ASEAN (ASC), Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC) dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASSC).[ii] Antisipasi perubahan global, pada KTT ke-12 dilakukan percepatan pembentukan Komunitas ASEAN dari 2020 menjadi 2015 dan disepakati oleh para Kepala Negara ASEAN. Komunitas ASEAN 2015 terbagi dalam 3 pilar, yaitu: Komunitas Keamanan ASEAN, Komunitas Ekonomi ASEAN dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN[iii].

Pembentukan Komunitas ASEAN pada tahun 2015 didasarkan salah satunya melalui pembentukan Komunitas Keamanan ASEAN. Komunitas Keamanan ASEAN yang kemudian diubah menjadi Komunitas Politik Keamanan ASEAN sejalan dengan Piagam ASEAN bertujuan mempercepat kerjasama politik keamanan di ASEAN untuk mewujudkan perdamaian di kawasan, termasuk dengan masyarakat internasional. Dalam mencapai Komunitas Politik Keamanan ASEAN, disusun langkah – langkah yang tertuang dalam ASEAN Political Security Community Blueprint (APSC) Bluerpint sebagai kelanjutan dari Rencana Aksi Komunitas Keamanan ASEAN dan Vientiane Action Programme (VAP). Dalam kaitan ini, berbagai usulan Indonesia telah dapat diterima seperti pemajuan prinsip-prinsip demokrasi, pemajuan dan perlindungan HAM, mendorong tata kelola pemerintahan yang baik dengan memerangi korupsi, kerjasama penanganan illegal fishing, mensinergikan  langkah pembentukan Komisi Pemajuan dan Perlindungan Hak Perempuan dan Anak, dan mendorong penyusunan instrumen ASEAN untuk pemajuan dan perlindungan hak pekerja migran[iv].

Dominasi negara-negara kuat dunia di ASEAN adalah merupakan hal yang perlu diterima sebagai kenyataan. Kepentingan ekonomi atas wilayah ASEAN menjadi akar pengaruh mereka di wilayah ini. Kekuatan China, dan Amerika akan melakukan usaha-usaha pengamanan bagi jalur ekonomi mereka. Kontur dimensi multipolar yang kian kompleks mengharuskan tiap negara anggota ASEAN untuk antisipatif terhadap dinamika geopolitik dan geostrategi kawasan. Seperti pada peningkatan kemampuan militer RRC akan dapat menjadi sebuah ancaman. Selain juga kekuatan Amerika Serikat, Australia, dan Jepang. Selain secara internal ASEAN juga terjadi permasalahan dengan usaha-usaha peningkatan perekonomian bersama.

Sekilas dipandang dari sisi pertahanan kawasan Asia Tenggara akan tiba masanya dimana negara-negara ASEAN akan bisa memposisikan diri terhadap masa depan sendiri tanpa campur tangan asing yang sering datang dan mempengaruhi perkembangan kawasan. Di sisi lain, selama ini ASEAN mampu untuk meredam berbagai gejolak yang akan timbul pada masing-masing negara yang memiliki potensi konflik. Ini setidaknya membuktikan bahwa anggota ASEAN boleh dikatakan berhasil memelihara perdamaian dan keamanan regional[v].

Kondisi tersebut perlu dilihat sebagai adanya pergeseran kekuatan. Beberapa hal yang menandai bahwa akan adanya power shift di kawasan ASEAN yaitu: peningkatan ekonomi dan militer Jepang dengan kepentingannya yaitu stabilitas kawasan, munculnya kekuatan baru yakni RRC sebagai pesaing utama Amerika Serikat, ambisi Australia dalam perlombaan senjata di kawasan, masuknya pengaruh Rusia walaupun cenderung terbatas, melesatnya perekonomian dan peningkatan militer India dengan ikut aktif dalam berbagai kegiatan multinasional maupun kawasan, serta masih berlanjutnya hegemoni kekuatan super power Amerika Serikat dalam hal balance of power di kawasan[vi].

Dengan memperhatikan fenomena di atas, permasalahan yang perlu diperhatikan adalah “Bagaimana Meningkatkan Kerjasama Keamanan Asean dalam situasi pergeseran kekuatan dunia, situasi rawan konflik antar negara ASEAN, ketidaksetaraan ekonomi antar negara ASEAN Guna Memelihara Stabilitas Keamanan Yang Kondusif Dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan Nasional”.

  1. Pokok-pokok Persoalan

Dengan memperhatikan permasalahan internal dan eksternal, maka dapat diidentifikasi persoalan dalam meningkatkan meningkatkan kerjasama keamanan ASEAN guna memelihara stabilitas keamanan yang kondusif dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional sebagai berikut:

  1. Bargaining power dalam diplomasi regional yang masih kurang. Meski sudah banyak forum-forum regional diikuti Indonesia[vii], namun karena daya saing, tingkat kesejahteraan masyarakat yang belum cukup baik menjadikan negara sekitar relatif memandang rendah pada posisi Indonesia[viii]. Hasil-hasil kesepakatan pada umumnya didominasi dari negara-negara yang secara ekonomi lebih baik dari Indonesia (Singapura, Malaysia) dengan segala kepentingannya. Hal ini terkait dengan keberanian untuk mengambil keputusan dan gagasan yang agak tegas dalam diplomasi[ix].
  2. Sikap politik yang belum cukup jelas.[x] Beberapa agenda regional seperti counter terrorisme, maritime security, intelligence, humanitarian assistance & disaster relief, dan peace keeping. Dalam konteks regional Indonesia belum memiliki konsep yang cukup jelas pada isu-isu tersebut.
  3. Kesadaran jati diri bangsa yang rendah. Dalam bersaingan budaya global yang berpengaruh pada kewaspadaan nasional, terdapat kecenderungan adanya inferiority complex yang disebabkan oleh jati diri bangsa yang belum kokoh. Hal ini menyebabkan dalam percaturan diplomasi dengan negara lain terutama negara yang dominan di dunia, perwakilan kita tidak cukup berani.
  4. Koordinasi lintas sektoral dalam penjabaran aktivitas kerjasama secara lebih detail yang masih kurang baik. Ada kecenderungan, detail aktivitas kerjasama ASEAN ditangani oleh satu atau dua departemen saja. Hal ini menjadikan outcome yang dihasilkan akan kurang komprehensif menyentuh berbagai aspek kehidupan bangsa.
  5. Dukungan sumber daya (manusia, dan teknologi) untuk penyeimbangan kekuatan dalam implementasi aktivitas yang masih kurang. Ketika rincian aktivitas dalam kerangka kerjasama ASEAN tidak didukung sumber daya yang setara maka akan menyebabkan Indonesia pada posisi yang tidak mempimpin (follower). Hasil-hasil kebijakan menjadi kurang sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia.
  6. Pokok-pokok Pemecahan Persoalan

 

Pokok-pokok pemecahan persoalan berdasarkan pada pokok-pokok persoalan akan berupa kebijaksanaan, strategi dan upaya.

 

Kebijakan

Untuk dapat meningkatkan kerjasama keamanan asean guna memelihara stabilitas keamanan yang kondusif dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional, perlu dikembangkan kebijakan yang sesuai. Memperhatikan pokok permasalahan dan pokok persolan, kebijakan yang diharapkan cukup efektif adalah  Tertingkatkannya Kerjasama Keamanan Asean melalui peningkatam bargaining power dalam diplomasi regional, peningkatan kesadaran jati diri bangsa, peningkatan kejelasan sikap politik terhadap isu regional, perbaikan koordinasi lintas sektoral dalam penjabaran aktivitas kerjasama, peningkatan dukungan sumber daya manusia, dan teknologi, guna memelihara stabilitas keamanan yang kondusif dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional.

 

Strategi

Untuk penerapan kebijakan tersebut perlu dikembangkan strategi. Ada beberapa hal yang dapat digunakan sebagai strategi, yaitu:

  1. Peningkatam bargaining power dalam diplomasi regional
  2. Peningkatan kesadaran jati diri bangsa
  3. Peningkatan kejelasan sikap politik terhadap isu regional
  4. Perbaikan koordinasi lintas sektoral dalam penjabaran aktivitas kerjasama
  5. Peningkatan dukungan sumber daya manusia, dan teknologi

Upaya

Strategi yang baik dapat berhasil ketika upaya yang dilakukan untuk mendukung juga sesuai. Upaya yang dilakukan adalah:

  1. Strategi I: Peningkatam bargaining power dalam diplomasi regional
    • Pemerintah melibatkan lebih banyak komponen bangsa (orang, lembaga, organisasi) dalam forum-forum internasional secara tematik
    • Pemerintah secara reguler mencari masukan terkait isu-isu global dari berbagai pihak melalui berbagai saluran komunikasi untuk antisipasi diplomasi internasional.
  2. Strategi II: Peningkatan kesadaran jati diri bangsa.
    • Pemerintah mengembangkan workshop dan pelatihan berjenjang fokus pada nilai-nilai kebangsaan bagi para diplomat.
    • Pemerintah bersama CSO (civil society organization) mengembangkan sistem sosialisasi jati diri bangsa bagi para pimpinan organisasi yang bersentuhan dengan lembaga internasional.
  3. Strategi III: Peningkatan kejelasan sikap politik terhadap isu regional
    • Pemerintah bersama dengan lembaga terkait melakukan kajian tentang isu-isu strategis dan kebijakan politik untuk dibawa dalam forum regional
    • Pemerintah mensosialisasikan setiap draft kebijakan politik luar negeri kepada masyarakat akademik untuk memperoleh feedback perbaikan
  4. Strategi IV: Perbaikan koordinasi lintas sektoral dalam penjabaran aktivitas kerjasama
    • Pemerintah dan DPR mengembangkan sistem perundangan terkait hasil kerjasama regional dengan outcome yang terukur
    • Pemerintah Pusat melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah untuk pembagian peran yang lebih jelas pada tiap hasil kesepakatan kerjasama regional.
  5. Strategi V: Peningkatan dukungan sumber daya manusia, dan teknologi.
    • Pemerintah bersama Kementrian Pendidikan Nasional meningkatkan kualitas SDM pendukung diplomasi melalui program-program pendidikan dan pelatihan.
    • Pemerintah bersama lembaga penelitian (LIPI, Ristek, LAPAN, dll) dan perguruan tinggi mengidentifikasi dan mengembangkan teknologi yang relevan dengan isu-isu kerjasama regional yang sesuai karakteristik iklim dan geologis Indonesia.

[i] RI akan Usulkan Pembentukan Komunitas Keamanan ASEAN, http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=4669

[ii] Konferensi Tingkat Tinggi Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara, http://id.wikipedia.org/wiki/Konferensi_Tingkat_Tinggi_Perhimpunan_Bangsa-bangsa_Asia_Tenggara

[iii] Pembentukan Komunitas Asean 2015, http://id.wikipedia.org/wiki/Wawasan_2020_ASEAN

[iv] Komunitas Politik Keamanan ASEAN,  http://www.smaratungga.org/stiab/index.php?option=com_content-&view=article&id=121:kuliah-umum

[v] Salim, Keamanan Asean dan Campur Tangan Negara Besar, http://www.tandef.net/perspektif-keamanan-di-kawasan-asean-dan-campur-tangan-negara-besar

[vi] Ibid

[vii] Pandji Soesilo, ASEAN dan Peranannya di Dunia Internasional, Modul Kuliah PPRA XLIV

[viii] Fikry Cassidy, Direktorat Keamanan Internasional dan Pelucutan Senjata, http://www.deplu.go.id/Pages/Orgz.aspx?IDP=5&IDP2=37&l=id

[ix] Makarim, Pengaruh ASEAN terhadap APEC, kuliah Lemhannas tanggal 1 Juni 2010

[x] Mangindaan, R., Pengaruh Globalisasi terhadap Tannas, Diskusi Panel, Lemhannas, 1 Juni 2010

MENINGKATKAN KERJASAMA KEAMANAN INTERNASIONAL GUNA MENGANTISIPASI DAMPAK BENCANA ALAM DALAM RANGKA KETAHANAN NASIONAL

  1. Pokok Permasalahan

Perkembangan internasional ke depan akan diwarnai oleh kesalingtergantungan (interdependensi) yang makin kuat[i]. Perkembangan ini membuat hubungan internasional menjadi makin sensitif bahkan melahirkan persepsi kerapuhan (vulnerability) terhadap perubahan-perubahan eksternal.[ii] Akibatnya, masalah-masalah dalam negeri tidak dapat diisolasi dari masalah-masalah internasional. Batas spasial-geografis menjadi kurang relevan dalam menghadapi interdependensi dan keterbukaan.[iii]

Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa ekonomi menghadapi kejutan yang signifikan terkait dengan harga  energi dan makanan yang semakin tinggi, keterbatasan energi, bencana alam. Hal-hal ini yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi nasional dengan berbagai dampak bawaannya. Hal ini yang juga menjadi concern dalam ASEAN Charter[iv]. Dengan lingkungan global seperti itu, tantangan dalam bidang keamanan mencakup banyak bahaya atau ancaman yang kompleks yang semakin berkembang, di dalamnya termasuk terorisme internasional, pengembangan senjata pemusnah masal, kriminal terorganisasi, cybercrime, kelangkaan energi, degradasi lingkungan dan berbagai resiko keamanan yang terkait dengannya, bencana alam ataupun bencana yang disebabkan oleh manusia sendiri, dan lain sebagainya. Untuk menghadapi ancaman-ancaman seperti tersebut di atas, akan dibutuhkan kerjasama yang luas dan sinergi yang mantap antar negara-negara di dunia yang kemudian diharapkan mampu melakukan langkah-langkah pendekatan terhadap isu-isu keamanan internasional dan bekerjasama dalam bidang pertahanan keamanan[v].

Isu atau fenomena global yang akan terus mewarnai, mempengaruhi, dan memberi dampak pada berbagai kebijakan Indonesia adalah[vi]:

  1. Fluktuasi Harga Minyak Dunia
  2. Perubahan Iklim
  3. Krisis Ekonomi
  4. Dominasi Negara-Negara Maju
  5. Perubahan Kekuatan Dunia

Isu tentang kerjasama keamanan internasional terkait dengan dampak bencana alam tujuan utama adalah penyelamatan kemanusiaan terutama pada korban yang paling menderita. Isu ini akan menyangkut prinsip-prinsip pengembangan dan pengelolaan bencana, yaitu[vii]:

  1. Disaster Relief sebagai kebijakan untuk memberikan asistensi kemanusiaan kepada korban tanpa memperhatikan kebangsaan, ras, suku, agama, ataupun aliran politik. Hal ini langsung ditekankan pada penyelamatan kehidupan dengan segera dengan mencegah bertambahnya kematian dan kelaparan.
  2. Disaster Rehabilitation and Reconstruction: merupakan aktivitas untuk rehabilitasi komunitas dengan tujuan mengembalikan fungsi masyarakat sebagaimana semula, mengurangi kerusakan komunitas dari bencana di waktu mendatang. Rekonstruksi akan terkait dengan membangunan infrastruktur. Prinsip ini merupakan prioritas kedua ataupun ketiga.
  3. Prevention, Mitigation and Preparedness: mendorong tumbuhnya penghargaan atas kehidupan dan penghematan anggaran melalui pencegahan bencana baik yang berisiko pada masyarakat maupun ekonomi akibat bencana perbuatan manusia maupun alamiah.

Meskipun sedemikian bagus tujuan dalam kerjasama terkait bencana alam, namun tidak dapat dihindari akan selalu ada keseimbangan pemberian dan penerimaan yang berujung pada penguasaan atas sumber-sumber energi, pangan, maupun ideologi.[viii]

 

Dengan memperhatikan fenomena di atas, permasalahan yang perlu diperhatikan adalah “Bagaimana meningkatkan kerjasama keamanan internasional dalam situasi dominasi asing, keterbatasan sumber daya, dan konflik kepentingan antar negara guna mengantisipasi dampak bencana alam dalam rangka ketahanan nasional”.

  1. Pokok-pokok Persoalan

Dengan memperhatikan permasalahan internal dan eksternal, maka dapat diidentifikasi persoalan dalam meningkatkan kerjasama keamanan internasional guna mengantisipasi dampak bencana alam dalam rangka ketahanan nasional sebagai berikut:

  1. Bargaining power dalam diplomasi internasional yang masih kurang. Meski sudah banyak forum-forum internasional diikuti Indonesia[ix], namun karena daya saing, tingkat kesejahteraan masyarakat yang belum cukup baik menjadikan negara lain relatif memandang rendah pada posisi Indonesia[x]. Hasil-hasil kesepakatan pada umumnya didominasi dari negara-negara maju dengan segala kepentingannya. Hal ini terkait dengan keberanian untuk mengambil keputusan yang agak tegas dalam diplomasi.
  2. Kesadaran jati diri bangsa yang rendah. Dalam bersaingan budaya global yang berpengaruh pada kewaspadaan nasional, terdapat kecenderungan adanya inferiority complex yang disebabkan oleh jati diri bangsa yang belum kokoh. Hal ini menyebabkan dalam percaturan diplomasi dengan negara lain terutama negara yang dominan di dunia, perwakilan kita tidak cukup berani.
  3. Koordinasi lintas sektoral dalam pengelolaan bantuan asing masih kurang baik. Pada umumnya, saat terjadi bencana alam akan ada banyak lembaga maupun negara asing yang akan memberikan bantuan melalui berbagai saluran. Koordinasi lembaga asing yang masuk Indonesia maupun lembaga penerima di Indonesia belum terkoordinasi sehingga tingkat kepentingan masing-masing tidak dapat dikendalikan[xi].
  4. Ketersediaan teknologi untuk mitigasi bencana, bantuan segera pada korban bencana, rehabilitasi dan rekonstruksi yang terbatas. Ketersediaan teknologi yang terbatas ini dapat terkait hardware, software, sumber daya manusia, maupun infastruktur pendukungnya. Ketersediaan teknologi yang kurang akan menyebabkan ketidakmandirian dalam penanganan bencana alam.
  5. Pokok-pokok Pemecahan Persoalan

 

Pokok-pokok pemecahan persoalan berdasarkan pada pokok-pokok persoalan akan berupa kebijaksanaan, strategi dan upaya.

 

Kebijakan

Untuk dapat meningkatkan kerjasama internasional guna mengantisipasi dampak bencana alam dalam rangka ketahanan nasional, perlu dikembangkan kebijakan yang sesuai. Memperhatikan pokok permasalahan dan pokok persolan, kebijakan yang diharapkan cukup efektif adalah  Tertingkatkannya kerjasama keamanan internasional melalui peningkatan bargaining power dalam diplomasi internasional, penguatan kesadaran jati diri bangsa, perbaikan koordinasi lintas sektoral, perluasan penyediaan teknologi untuk pengelolaan bencana, guna mengantisipasi dampak bencana alam dalam rangka ketahanan nasional.

 

Strategi

Untuk penerapan kebijakan tersebut perlu dikembangkan strategi. Ada beberapa hal yang dapat digunakan sebagai strategi, yaitu:

  1. Peningkatan bargaining power dalam diplomasi internasional
  2. Penguatan kesadaran jati diri bangsa
  3. Perbaikan koordinasi lintas sektoral
  4. Perluasan penyediaan teknologi pengelolaan bencana


Upaya

Strategi yang baik dapat berhasil ketika upaya yang dilakukan untuk mendukung juga sesuai. Upaya yang dilakukan adalah:

  1. Strategi I: Peningkatan bargaining power dalam diplomasi internasional.
    • Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan mengembangkan pendekatan baru dalam pembelajaran untuk memasukkan nilai-nilai kebangsaan dalam pendidikan Indonesia
    • Pemerintah melibatkan lebih banyak komponen bangsa (orang, lembaga, organisasi) dalam forum-forum internasional secara tematik
    • Pemerintah secara reguler mencari masukan terkait isu-isu global dari berbagai pihak melalui berbagai saluran komunikasi untuk antisipasi diplomasi internasional.
  2. Strategi II: Penguatan kesadaran jati diri bangsa.
    • Pemerintah mengembangkan workshop dan pelatihan berjenjang fokus pada nilai-nilai kebangsaan bagi para diplomat.
    • Pemerintah bersama CSO (civil society organization) mengembangkan sistem sosialisasi jati diri bangsa bagi para pimpinan organisasi yang bersentuhan dengan lembaga internasional.
  3. Strategi III: Perbaikan koordinasi lintas sektoral
    • Pemerintah mendorong LSM, dan organisasi-organisasi sejenis untuk meningkatkan kesadaran menentukan dan mengawal pencapaian tujuan nasional melalui berbagai program dan aktivitas organisasi, pelatihan dan sosialisasi hukum.
    • Pemerintah memperluas peran PMI dan LSM untuk terlibat dalam kerjasama internasional pengeloaan bencana melalui berbagai forum yang ada.
    • Pemerintah mengembangkan peraturan tentang koordinasi pengelolaan bencana alam bersama lembaga lintas sektoral dalam konsep sustainable development.
  4. Strategi IV: Perluasan penyediaan teknologi pengelolaan bencana.
    • Pemerintah meningkatkan kualitas SDM pendukung disaster management intelijen sesuai perubahan teknologi.
    • Pemerintah bersama lembaga penelitian (LIPI, Ristek, LAPAN, dll) dan perguruan tinggi mengidentifikasi dan mengembangkan teknologi pengelolaan bencana yang sesuai karakteristik iklim dan geologis Indonesia.
    • Pemerintah memberikan alokasi anggaran yang lebih rasional untuk penambahan dukungan teknologi pengelolaan bencana.

[i] Makarim Wibisono, Hubungan Antar Negara Maju dan Berkembang dalam Rangka Ketahanan Nasional, Modul Kuliah PPRA XLIV

[ii] Bantarto Bandoro, Masalah-Masalah Keamanan Internasional Abad 21, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003

[iii] Edy Prasetyono, Masalah-Masalah Bidang Pertahanan dan Keamanan, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta.

[iv] The ASEAN Charter, Jakarta, 2008

[v] Asian Development Bank, Outlook 2009

[vi] Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan Direktorat Analisa Lingkungan Strategis,  Perkembangan Lingkungan Strategis dan Prediksi Ancaman Tahun 2008, Januari 2008

[vii] Major Functional Series 200 Program Assistance ADS 251 – International Disaster Assistance

[viii] Juwono Sudarsono, Keamanaan Internasional Abad Ke-21, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar, 14 -18 Juli 2003

[ix] Pandji Soesilo, ASEAN dan Peranannya di Dunia Internasional, Modul Kuliah PPRA XLIV

[x] Fikry Cassidy, Direktorat Keamanan Internasional dan Pelucutan Senjata, http://www.deplu.go.id/Pages/Orgz.aspx?IDP=5&IDP2=37&l=id

[xi] Pandji Soesilo, Politik Luar Negeri dan Diplomasi RI di Era Globalisasi, Modul Kuliah PPRA XLIV

ASEAN Socio Culture Community Blueprint

Based on the document of ASEAN Socio Culture Community blueprint (ASEAN Socio Cultural Blueprint, 2009), the characteristics and elements also the objective are followed.

Characteristics and Elements

The primary goal of the ASCC is to contribute to realizing an ASEAN Community that is people-centered and socially responsible with a view to achieving enduring solidarity and unity among the nations and peoples of ASEAN by forging a common identity and building a caring and sharing society which is inclusive and harmonious where the well-being, livelihood, and welfare of the peoples are enhanced. The ASCC will address the region’s aspiration to lift the quality of life of its peoples through cooperative activities that are people-oriented and environmentally friendly geared towards the promotion of sustainable development.

The ASCC shall contribute to building a strong foundation for greater understanding, good neighborliness, and a shared sense of responsibility. The ASCC is characterized by a culture of regional resilience, adherence to agreed principles, spirit of cooperation, collective responsibility, to promote human and social development, respect for fundamental freedoms, gender equality, the promotion and protection of human rights and the promotion of social justice. The ASCC shall respect the different cultures, languages, and religions of the peoples of ASEAN emphasize their common values in the spirit of unity in diversity and adapt them to present realities, opportunities and challenges. The ASCC will also focus on the social dimension of Narrowing the Development Gap (NDG) towards bridging the development gap among Member States. Based on the above, the ASCC envisages the following characteristics: (a) Human Development; (b) Social Welfare and Protection; (c) Social Justice and Rights; (d) Ensuring Environmental Sustainability (e) Building the ASEAN Identity; and (f ) Narrowing the Development Gap.

Action on Education

One of the strategic objectives on advancing and prioritizing education is ensuring the integration of education priorities into ASEAN’s development agenda and creating knowledge based society; achieving universal access to primary education; promoting early child care and development; and enhancing awareness of ASEAN to youths through education and activities to build an ASEAN identity based on friendship and cooperation. Some of the actions to support this strategy are

  • Use ICT to promote education and life-long learning particularly in underserved communities through open, distance education and e-learning;
  • Promote education networking in various levels of educational institutions and continue university networking and enhance and support student and staff exchanges and professional interactions including creating research clusters among ASEAN institutions of higher learning, in close collaboration with the Southeast Asia Ministers of Education Organization (SEAMEO) and the ASEAN University Network (AUN);
  • Strengthen collaboration with other regional and international educational organizations to enhance the quality of education in the region;
  • Include the teaching of common values and cultural heritage in school curricula and develop teaching materials and capability for this purpose starting in 2008;
  • Develop and offer courses on ASEAN studies, both in the primary, secondary and higher education levels;
  • Continue the ASEAN Youth Leadership Development Program and similar programs with the same objectives and encourage networking among ASEAN Youth Program alumni to promote solidarity and mutual understanding;
  • Support learning of ASEAN languages and promote exchanges of linguists.

Hidden Curriculum: brief review

Kajian tentang hidden curriculum dalam pendidikan karakter telah banyak dilakukan dengan hasil-hasil yang dapat digunakan dalam penanaman nilai-nilai nasionalisme. Hasil penelitian Yüksel  (2005) menyatakan pentingnya penanaman nilai-nilai moral pada generasi muda dalam bentuk hidden curriculum. Hal ini karena dalam masyarakat modern, kurikulum formal relatif kurang menjangkau pada aspek-aspek pengembangan moral. Temuan ini sejalan dengan hasil-hasil penelitian yang menunjukkan besarnya pengaruh penerapan hidden curriculum dalam internalisasi nilai dan karakter di sekolah dasar (Çubukçu, 2010), penanaman nilai-nilai demokrasi (Saleh, 2012) termasuk dengan cara melakukan intervensi psikologis (Urbayatun, 2010).

Dalam pengelolaan berbagai program kerjasama internasional yang dilakukan Universitas Ahmad Dahlan di berbagai negara (China, Thailand, Malaysia, Philipina, Kamboja) menunjukkan adalanya kecenderungan bahwa negara-negara tersebut secara sistematik telah mengembangkan pendidikan nasionalisme mereka dalam pendidikan di sekolah. Hal ini juga ditunjang dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Sulisworo dan Ika (2015) dengan dana dari institusi. Penelitian ini membandingkan (studi komparasi) bagaimana pengelolaan hidden curriculum di sekolah-sekolah Indonesia dan Thailand.

Sementara itu dari hasil-hasil penelitian yang didanai oleh Kementerian Pendidikan Nasional melalui skema hibah pascasarjana, Sulisworo (2012; 2013a) melihat bahwa penetrasi teknologi informasi di sekolah yang sudah sedemikian tinggi namun belum didukung pada kesiapan peserta didik dan juga kesiapan konten akademik di dunia maya. Kecenderungan pemanfaatan teknologi ini oleh anak usia sekolah baru pada penggunaan untuk game dan hal-hal lain yang relatif tidak akademis dan kurang mendukung pada pengembangan moral (Sulisworo dan Wahyuningsih, 2014).

Penelitian lanjutan dari hibah pascasarjana ini menunjukkan adanya potensi di berbagai wilayah Indonesia untuk dikembangkan dan diterapkan strategi pembelajaran kooperatif dengan memanfaatkan teknologi informasi (Sulisworo, et.al., 2014; Maryani, 2012). Hal ini dapat berjalan, baik di sekolah kota di Jawa maupun Luar Jawa (Sulisworo, 2013b). Ini suatu potensi baik bagi pendidikan yang lebih merata.

Dalam penelitian-penelitian itu juga dilihat bagaimana dampak pengiring pembelajaran kooperatif terhadap kerjasama, komunikasi, minat maupun motivasi belajar (Sulisworo, 2012a; Sulisworo, 2012b; Sulisworo dan Suryani, 2014).

Hasil-hasil ini akan menjadi sebuah peluang baru bagi pengembangan nilai-nilai nasionalisme sebagai sebuah dampak pengiring dan dikelola sebagai hidden curriculum di wilayah perbatasan; dan lebih sesuai pada era pembelajaran personal (Sulisworo, 2014a, 2014b).